(Foto/Dok BREBES.INFO, Bung Rifan, SH) |
Oleh: Rifan Azzam Amrulloh, SH.
(Kepala Bidang Advokasi dan Hukum Persatuan Alumni GMNI Brebes)
Menyoal tentang putusan Mahkamah Konstitusi mengenai uji formil Undang-Undang No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang tertuang dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terdapat beberapa catatan hukum didalamnya. Hal demikian dikarenakan karena pada amar putusannya MK mengabulkan permohonan pemohon sebagain, yaitu pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI, sedangkan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dimana pada pokok permohonannya, pemohon menganggap bahwa disahkannya UU Cipta Kerja tidak sesuai prosedur dan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (P3) .
Berdasarkan ketentuan umum yang tertera pada Pasal 1 angka 1 UU No. 12 Tahun 2012 tentang P3, pembentukan UU terdiri atas 5 tahapan, yaitu perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Dari semua tahapan tersebut, pemohon menganggap bahwa pemerintah dan legislatif dalam setiap tahapan pembentukan mengabaikan asas pembentukan perundang-undangan, yaitu asas kejelasan tujuan, asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat, asas kesesuaian antara jenis, hierarki dan materi muatan, asas dapat dilaksanakan, asas kedayagunaan, asa kejelasan rumusan, dan asas keterbukaan.
Semua asas pembentukan tersebut merupakan kesatuan asas formil, yaitu dimana terdapat tata cara yang diatur sedimikian rupa yang mencerminkan semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Terhadap dari apa yang diputuskan MK bahwa MK mengabulkan permohonan uji formil, hal demikian patut diapresiasi. Karena sebelumnya dari apa yang telah diajukan permohonan uji formil dari UU Minerba dan UU KPK, MK menolak permohonan seluruhnya. Dari pengujian formil UU Ciptaker yang dikabulkan sebagian oleh MK menandakan bahwa pentingnya prosedur dalam seluruh aspek penyelenggaraan negara, terutama prosedur pembentukan UU. Kemudian kaitannya dengan kebiasaan beracara di MK, terdapat kedudukan hukum (legal standing), yaitu itu kaitannya erat dengan kerugian konstitusional akibat berlakunya norma suatu UU, akan tetapi untuk uji formil mempunyai alasan tersendiri, yaitu menyangkut tidak dilaksanakannya mandate wakil rakyat secara fair, jujur, dan bertanggung jawab dalam mengambil keputusan-keputusan untuk membentuk satu UU atau kebijakan yang lain, maka setiap warga negara sebagai perseorangan yang telah melaksanakan hak pilih sebagai pemegang kedaulatan, disamping kualifikasi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf a sampai dengan huruf dm menurut MK memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan formil, karena merasa dirugikan secara konstitusional oleh pemegang mandat yang dipilih oleh rakyat, dengan mengambil keputusan tidak sesuai dengan mandate yang diperoleh secara fiduciair.
Makna Putusan Mahkamah Konstitusi
Lantas apa yang menjadi makna dari putusan MK tersebut, yaitu prinsip lama mengenai non-judicial ntervention terhadap urusan internal dan prosedur dalam badan legislatif sebagai kelanjutan dari separation of power yang itu pengadilan lebih terkonsentrasi pada apa yang telah dihasilkan oleh badan legislatif dibandingkan dengan bagaimana melakukannya. Pandangan lama tersebut kemudian berubah mengingat prosedur pembentukan tidak menjalankan prinsip-prinsip pembentukan peraturan-perundang-undangan yang baik, yang pada akhirnya menyebabkan buruknya kualitas produk Undang-Undang.
Mahkamah Konstitusi mulai memperlihatkan keseriusannya menilai prosedur pembentukan yang buruk, walaupun sebelumnya dari pengajuan permohonan judicial review tentang uji formil UU Minerba dan UU KPK ditolak oleh MK. Makna putusan MK ini juga menggambarkan bahwa disahkannya UU Cipta Kerja ini merupakan gambaran jarak keberterimaan secara rasional antara pembentuk Undang-Undang dengan rakyat yang sangat besar.
UU Cipta Kerja ini dianggap dalam perumusannya sampai dengan pengundangannya tidak rasional, karena tidak jelas mengatur penggabungan antara 78 (tujuh puluh delapan) UU yang terdiri dari 11 (sebelas), ketidakjelasn hal tersebut tergambar pada revisi UU sebelumnya dan setelah digabungkan, apakah UU sebelumnya sebelum digabungkan itu direvisi dengan cara dicabut atau hanya perubahan.
Selain itu, makna lain dari putusan ini yaitu seperti yang terjadi pada umumnya, bahwa UU hanya menjadi resultant dari permainan kekuasaan yang dimenangkan oleh kepentingan yang memiliki suara terbanyak, dibandingkan oleh suara yang memiliki banyak kepentingan, maka MK harus menjalankan fungsi ‘veto force’, ‘guradian of the constitution’, ‘public reasoner’, dan ‘instituonal interlocutor’ dengan lebih baik. Tidak ada suatu pembahasan UU tanpa ada kepentingan didalamnya, untuk kemudian antar satu kepentingan bisa diakomodir dengan baik, maka perlu melihat isi konstitusi yaitu UUD 1945 yang menjadi rujukan (grundnorm). Sedangkan untuk bisa menginterpretasikan sebuah konstitusi itu berbeda dengan interpretasi hukum pada umumnya.
Menurut Thomas Hobbit interpretasi konstitusi terdiri dari penafsiran etikal, penafsiran structural, penafsiran historis, penafsiran literal, penafsiran prudential, dan penafsiran doktrin. Adapun fakator-faktor yang mempengaruhi pilihan metode dapat dikaitkan dengan factor penalaran hukum oleh seorang hakim MK. Maka dari semua penafsiran yang telah dijabarkan diatas, MK harus lebih aktif untuk kemudian bagaimana konstitusi ini dari semua aspek penafsiran dapat mengakomodir semua kepentingan.
Fakta Hukum Terhadap Putusan
Dari beberapa alasan diatas, maka jika melihat substansi pembentukan UU Ciptaker yang tertera pada UU no. 11 Tahun 2021 tentang P3 tidak memnuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan rumusan, oleh karena norma Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf f, dan huruf g UU No. 12/2011 mengahruskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif maka dengan tidak terpenuhinya satu asas saja, maka ketentuan Pasal 5 UU P3 menjadi terabaikan oleh proses pembentukannya.
Terungkap fakta bahwa pembentukan undang-undang tidak memberikan ruang partisipasi kepada mayarakat secara maksimal. Sekalipun dilaksanakan berbagai pertemuan dengan berbagai kelompok masyarakat, pertemuan dimaksud belum membahas naskah akademik dan materi perubahan undang-undang Ciptaker. Sehingga masyarakat yang terlibat dalam pertemuan tersebut tidak mengetahui secara pasti materi perubahan undang-undang apa saja yang akan digabungkan dalam UU 11/2020 tentang Ciptaker.
Tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang; terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan, Mahkamah berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Gambaran demikian jika dilihat secara teori artinya tidak sesuai dengan prosedur pembentukan, maka akibatnya batal demi hukum, akan tetapi MK tidak mengualifikasi pelanggaran prosedur yang menyebabkan cacat prosedur sebagai pelanggaran yang amat parah. Sehingga muncul beberapa pertanyaan bahwa MK mengambil jalan tengah? yang nantinya terdapat konsekuensi hukum yang mengarah pada putusan MK ini bukan malah memperjelas kedudukan suatu UU tapi malah membiaskan UU sampai pada aturan teknis dibawahnya.
Kehati-hatian MK ini malah menjadikan jalan semakin lebar dari apa yang mau dibentuk dengan jalan kepastian, kebermanfaatan, yang ujungnya keadilan.
Catatan Terhadap Putusan MK
Melihat amar putusan yang pertama, bahwa MK menyatakan pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyau kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 tahun sejak putudan ini diucapkan. Putusan yang kedua, menyatakan UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukannya perbaikan pembentukan ssuai dengan tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini.
Ketiga, memerintahkan Ketiga, memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Keempat, menyatakan apabila dalam tenggang waktu 2 tahun pembentuk undang-undang tidak dapat menyelesaikan perbaikan UU Cipta Kerja, maka undang-undang atau pasal-pasal atau materi muatan undang-undang yang telah dicabut atau diubah oleh UU Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali. Kelima, menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Dari beberapa amar putusan diatas, maksud dari UU Cipta Kerja dinyatakan tetap berlaku dalam Amar Putusan, adalah bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada Pembentuk UU untuk fokus memperbaiki Tata Cara/Prosedur pembentukan UU 11/2020 agar sesuai dengan UU 12/2011 jo. UU 15/2019, termasuk merevisi UU 12/2011 jo. UU 15/2019 Selama 2 Tahun ke depan. Maksud dari Menangguhkan Pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas, agar menghindari dampak yang lebih besar terhadap pemberlakuan UU 11/2020 selama 2 Tahun ke depan. Memberikan Pilihan kepada Pembentuk UU, apabila tidak akan melanjutkan Perbaikan UU 11/2020 sebagai bentuk mengakomodasi Penolakan Rakyat terhadap UU 11/2020, sehingga apabila UU 12/2020 menjadi permanen Inkonstitusional, maka terhadap UU, Pasal-Pasal, atau materi muatan yang telah dicabut atau diubah oleh UU 11/2020, menjadi kembali berlaku.
Apa Yang Harus dilakukan Kedepan
Bahwa apa yang menjadi amar putusan, perlu kemudian dipikirkan konsekuensi hukum yang akan berdampak, selain harus menyusun kembali UU Cipta Kerja sesuai dengan tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan.
Tidak tertutup kemungkinan sekaligus juga memperbaiki pasa/ayat (materiil) UU Cipta Kerja yang menimbulkan polemik, serta dampak pada peraturan teknisnya yang beberapa masih dalam tahan penyusunan. Langkah seperti apa yang harus diambil jika dalam proses UU Cipta Kerja ini ditangguhkan secara putusan MK sedangkan aturan teknis dibawahnya sudah berjalan.
Seharusnya sikap yang diambil khususnya oleh presiden (pemerintah) harus menahan terlebih dahulu aturan teknis UU Ciptaker. Karena jika dilihat secara umum UU Ciptaker ini mencangkup mengenai pertentangan kelas yang ditujukan oleh keberpihakan terhadap kuasa modal dan cenderung mengabaikan kepentingan buruh dan lingkungan, maka perlu kehati-hatian dalam memutuskan aturan teknisnya, walaupun MK tidak menyentuh analisis kelas dalam pertimbangan hukumnya.