(Foto Dok Brebes.info) |
BREBES.INFO,- Gambaran mengenai tradisi masyarakat Jawa memang begitu banyak, salah satunya yaitu tradisi nyekar. Tradisi ini merupakan bentuk pribumisasi Islam, yang mengakomodasi Islam pada tradisi lokal, tradisi yang lestari di tanah Jawa. Nyekar berasal dari kata Jawa sekar yang berarti bunga atau kembang, yang itu dipraktekan dalam kegiatan ziarah kubur dengan menabur bunga.
Sejalan dengan menjaga tradisi tersebut beserta berangkat dari keresahan tentang pentingnya mendalami dan mengamalkan sejarah, ada 2 makam yang kemudian dikunjungi. Pertama, makam seorang salah satu proklamator kemerekdaan Republik Indonesia yaitu Bung karno. Kedua, seorang tokoh yang disebut sebagai Guru Bangsa dan Raja Tanpa Mahkota yaitu H.O.S Tjokroaminoto. Sekilas tentang profil dari kedua tokoh ini, H.O.S Tjokroaminoto merupakan guru dari Bung Karno saat Bung Karno bersekolah di Hogere Burger School (HBS) di Surabaya. Rumah Tjokrolah menjadi tempat Bung Karno ngekos, selain itu dari tempat tersebut kemudian Bung Karno belajar tentang gerakan melawan kolonialisme.
Baca Juga : Opini : Menakar Jalan Tengah Putusan MK Tentang Uji Formil UU Cipta Kerja
Hal yang menjadi alasan kuat kenapa Bung Karno dititipkan di Tjokro yaitu Raden Soekemi Sosrodiharjdo yang merupakan ayah Bung Karno menganggap bahwa pada saat itu Tjokro adalah pemimpin poilitik dari orang jawa, dan alasan lainnya dari ayah Bung Karno menitipkan ke Tjokro seperti yang ditulis oleh Cindy Adams dalam buku “Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat” yaitu ayah Bung Karno ingin supaya Bung Karno tidak melupakan bahwa warisan leluhur jawa. Ketika dilihat dari garis keturunan seorang Tjokroaminoto, yang itu identik dengan pandangan orang jawa tentang trah, bahwa Tjokro bukanlah tanpa sebab jika memang dia dari keturunan seorang ulama besar di bumi nusantara. Kakek buyutnya merupakan pendiri pondok pesantren Tegalsari Ponorogo, Jawa Timur bernama Kyai Ageng Muhammad Besari.
Sedangkan Bung Karno sendiri dari trah ibunya merupakan keturunan bangsawan dan Raja Singaraja terakhir adalah paman dari ibunya Bung Karno. Selain dari keturuan kedua tokoh ini, sejarah pergerakan dari pasca sampai pra pembacaan proklamasi kemerdekaan Indonesia, dua tokoh ini mempunyai andil besar dari menjalankan peran sebagai penentang kolonial Belanda pada saat menjajah bumi Nusantara. H.O.S Tjokroaminoto merupakan pemimpin uatama dari organisasi terbesar di Nusantara yaitu Sarikat Islam (SI) dari tahun 1914-1923, selanjutnya berubah Haluan menjadi organisasi Partai Sarekat Islam (PSI) dari tahun 1923-1929, dan berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) pada tahun 1929, sampai dengan wafat pada tahun 1934 di Yogyakarta.
Kehebatan Tjokro kemudian diceritakan oleh seorang tokoh yang mendampingi Tjokro pada saat masih bernama Sarekat Islam yaitu H. Agus Salim menuturkan bahwa Tjokro pada saat pertemuan Sarekat Islam di Bondowoso Jawa Timur, menggambarkan bahwa terdapat 50.00 rakyat berkumpul hanya untuk bertemu dengan Tjokro, selain itu rakyat berharap bahwa bisa mencium tangan Tjokro, karena mereka mengganggap bahwa Tjokro merupakan sang mesias (juru selamat), bahkan dianggap sebagai ratu adil dari tanah jawa.
(Foto Dok Brebes.info) |
Baja Juga : Study Banding Ke Yogjakarta Pemdes Jatirokeh Songgom Dikritik Tokoh Pemuda
Sedangkan Bung karno sendiri, merupakan tokoh yang mengidolakan Tjokro, dilihat dari gaya pidato Tjokro yang kemudian ditiru oleh Bung Karno. Dari hal demikiannlah membawa aura Bung Karno menjadi sebuah sosok salah satu pejuang proklamator dan bahkan mendapat mandat dari rakyat untuk membacakannya, dan menjadi Presiden Pertama pasca proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 18 Agustus 1945 dengan wakilnya Bung Hatta. Dari Bung Karnolah Indonesia mempunyai jiwa revolusi yang dalam kandungan Pembukaan UUD 1945 asli yang semangatnya kemudian dituangkan dalam falsafah negara dengan nama “Pancasila”.
Belilaulah yang memperkenalkan Pancasila dimata dunia dengan pidatonya di Sidang Umum PBB ke-XV tanggal 30 September 1960, pidato itu diberi judul “Membangun Dunia Kembali (To Build the World a New). Senasib dengan Tjokro yang wafat akibat sakit setelah mengikuti Kongres SI di Banjarmasin, Bung Karno sebelum wafat juga mengalami sakit akan tetapi lebih miris dari pada Tjokro. Bung Karno sebelum wafat diasingkan di Wisma Yaso, yaitu setelah dijatuhkan pada Maret 1967 dengan naiknya Jendral Soeharto menjadi presiden. Bung Karno menghembuskan nafas terkahirnya pada 21 Juni 1970.
Makam Bung Karno berada di Kota Blitar, yaitu bersamaan dengan tempat pemakaman ibundanya Ibu Ida Ayu Nyoman Rai. Makam yang kemudian dijadikan sebuah tempat penggalian pemikiran Bung karno dibuktikan dengan sebelum mendekati wilayah pusaran makam, terdapat Gedung yang menggambarkan masa bung karno saat belum menjadi presiden dan sesudah menjadi presiden, juga terdapat sebuah perpustakan Bung Karno yang didalamnya terdapat buku-buku yang langsung ditulis oleh Bung Karno.
Selain itu dengan jarak 3 KM dari tempat pemakaman Bung Karno, terdapat Rumah ayah dan ibu dari Bung Karno, yang dinamakan Istana Gebang. Setelah mengunjungi tempat Istana Gebang, gambaran Bung Karno masa kecil sebelum dikirim ke Surabaya terdapat di tempat tersebut. Walaupun pada akhirnya tempat tersebut diwariskan kepada kakak Bung Karno yaitu ibu Soekarmini.
Sedangkan Makam Tjokroaminoto terletak TMP Pakuncen Yogyakarta, makam tersebut seperti makam pada umumnya, tidak tergambar bahwa terdapat peristirahatan terakhir seorang tokoh besar, guru bangsa, dan pahlawan pergerakan bangsa Indonesia. Akan tetapi hal demikian tidak mengurangi kebesaran tentang sosok Tjokro. Dibatu nisannya bertuliskan Pahlawan Islam Yang Utama H.O.S Tjokroaminoto 10 Ramadhan 1353.
(Foto Dok Brebes.Info) |
Mengambil istilah yang sering disampaikan Tjokro dari semangat Nabi Muhammad SAW yaitu "Hijrah" berpindah dari tempat yang gelap ke tempat yang lebih terang, gagasan ini yang kemudian mengilhami para tokoh besar yang kala itu sama indekosnya dengan bung karno seperti semaun, kartosuwiryo dan alimin untuk melakukan perubahan besar bagi bangsa dan negara sekalipun dengan perbedaan pemikiran gagasan dalam membangun bangsa indonesia.
Rangkaian perjalanan tradisi nyekar bukan melulu soal mendoakan mereka yang sudah meninggal akan tetapi lebih kepada mereviev kembali ingatan memori apa yang telah mereka lalukan semasa hidupnya untuk bangsa Indonesia. Bukan mewarisi abunya melainkan semangat revolusionernya untuk membawa perubahan.
Bagitulah sedikit cerita tentang kedua tokoh besar yang pernah ada dalam sejarah pergerakan bangsa. Dengan terdapat tradisi Nyekar dalam pandangan Jawa, kegiatan ini merupakan sebuah usaha agar kita selalu mengingat jasa kedua tokoh ini, terlebih Bung Karno pernah mengatakan dengan sebutan Jas Merah yang artinya jangan sekali-kali melupakan sejarah.