Politik Uang, Peran Partai dan Kesehatan Mental Masyarakat

(Ika Indra Sanjaya, S.Pd)


Penulis : Ika Indra sanjaya, S.Pd

Ketua DPC PA GMNI Kabupaten Pemalang



“Demokrasi ! Demokrasi ! Democrazy !”

Begitulah teriakan seorang pemuda tanggung dijalanan. Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemimpin, pembangunan di daerahnya, serta kecewa dengan proses pelaksanaan pemilu semua itu adalah rentetan dari sebuah proses yang patut dipertanyakan. Sebagian masyarakat cenderung apatis serta acuh terhadap proses politik. Mereka beranggapan bahwa pesta demokrasi bukanlah lagi perang gagasan atau ide, namun cenderung mengarah pada ‘perang amplop’. 

 


“Ora Satus Ora Nyoblos!” 
Pragmatisme yang massif ditengah masyarakat serta kebutuhan hidup yang terus mengejar, membuat mereka berpikir bahwa jika sudah mendekati pemilu maka musim ‘bagi-bagi uang’ hampir tiba. Sebegitu ironisnya demokrasi di Indonesia. Meskipun sudah terbentuk badan-badan yang terkait dengan kepastian hukum  kepemiluan serta payung hukum yang baik, tetapi fakta dilapangan masih saja ada praktek-praktek politik uang yang seharusnya sudah tidak lagi terjadi. 

 


Sudah tertulis jelas tentang asas, prinsip dan tujuan Pemilu pada Bab II Undang-undang No. 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum. Bahwa Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana penyelenggaraanya pun harus memenuhi 11 prinsip yaitu, mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib terbuka, proporsional, professional, akuntabel, efektif dan efisien. Secara peraturan hukum semestinya proses berdemokrasi di Indonesia sudah dapat berjalan dengan baik, pada kenyataannya masih ada saja masyarakat menerima sesuatu yang dianggap sebagai imbalan dari para calon pemimpin yang sedang bertarung agar mendapat simpatik ataupun suara disaat hari pencoblosan nanti. 

 


Di dalam undang-undang kepemiluan pula pasal 284 UU No. 7 Tahun 2017, menyatakan bahwa:
“Dalam hal terbukti pelaksanadan tim kampanye Pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnyasebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung untuk:
a. Tidak menggunakan hak pilihnya;
b. Menggunakan hak pilihnya dengan memilih peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah;
c. Memilih pasangan calon tertentu; 
d. Memilih partai politik peserta pemilu tertentu; dan/ atau
e. Memilih calon anggota DPD tertentu.

 


Dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Sanki yang diberikan oleh penyelenggara pemilu berdasarkan undang-undang tersebut pun cukup tegas, yaitu yang termaktub pada pasal 285, sanksi yang dimaksud berupa pembatan nama calon serta pembatalan penetapan calon. Dengan kata lain, berarti para calon pemimpin tidak diperbolehkan lagi melanjutkan kampanyenya juga pencalonannya baik sebagai anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi/kota/kabupaten. 

 


Bilamana peraturan hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap penyelenggaraan pemilu sudah ada dan baik, tetapi masih ada pelanggaran-pelanggaran didalam proses berdemokrasi, maka bukanlah lagi hukum yang sakit namun ada yang salah atau tidak sehatnya sebuah kondisi mental dari pemilih atau yang dipilih. Sebuah paradoks tentang demokrasi, dimana seharusnya yang bertarung adalah gagasan, ide, program kerja, prestasi tetapi masih ada yang menggunakan cara-cara primordial dan menganggap bahwa rakyat adalah komoditas transaksional berdasarkan nominal. 

 


Mentalitas masyarakat terhadap momen-momen politik pun belum bisa dikatakan baik ataupun sehat, masih adanya sebagian masyarakat yang memanfaatkan momentum tersebut untuk mendapatan uang ataupun sembako misalnya dari calon-calon kepala daerah maupun calon-calon legislatif disetiap daerah. Kita tidak bisa pula sertamerta menyalahkan rakyat begitu saja, karena mereka pun sebetulnya belum begitu sadar dengan proses berpolitik dalam demokrasi. Tingkat Pendidikan serta latar belakang ekonomi menjadi faktor pendorongnya. Maka dari itu amatlah pelik sebetulnya untuk memperbaiki mentalitas Sebagian masyarakat awam, meski begitu bukan berarti kemudian hal ini dijadikan alasan.
 
Peran aktif para kandidat legislatif ataupun kepala daerah yang kelak memimpin rakyatnya, sudah selayaknya jangan hanya mengutamakan ego kemenangan saja sehingga menciptakan iklim yang tidak sehat dalam persaingan. Hal tersebut harus disadari baik dari para kandidat dan masyarakat, bahwa permainan politik dengan menggunakan cara-cara transaksional berakibat pada kualitas kepemimpinan kedepan. Prinsip ekonomi akan berlaku bila mereka sudah duduk dikursi kekuasaan, sebab sudah merasa merogoh saku sampai habis harta benda maka harus ada keuntungan selama berkuasa. Bicara rakyat maka bicara idealisme, kepentingan rakyat, pencerdasan bangsa, serta pembangunan ekonomi yang sehat harus dilaksanakan.

 

Tak jarang akibat politik uang, terciptalah suatu sentimen terhadap pengusaan ekonomi dan pembangunan di daerah.  Politik bukanlah soal sentimen peraasaan namun tentang argumentasi dan idealisme bernegara, bagaimana bisa dikatakan negarawan bila dalam proses pemilihan pun para kandidat ini sudah merusak mental rakyatnya dengan ‘mencekoki’ kecurangan demi kekuasaan. 

 


Peran partai politik semestinya sebagai organisasi kader, harus melakukan penyadaran-penyadaran para anggota atau simpatisannya. Bagaimana bisa dikatakan sebagai organisasi kader jika sebenarnya para simpatisan ini tidak memiliki idealisme dan menyebarkan program-program organisasinya sampe di tingkatan akar rumput. Disebuah negara yang memiliki banyak partai politik beban negara dalam penyadaran politik pun terbantu oleh para kader-kader partai.

 

Sehingga dalam proses pemilihan nanti rakyat dapat sadar memilih dengan pikiran sehatnya sendiri bukan karena ‘uang amplop’. Mereka harus bisa mengajak rakyat berpikir bersama bukan hanya mengajak untuk memilih disaat pemilu.

 


Peran negara melalui badan-badan kepemiluan yaitu, masyarakat harus diberi arahan oleh badan pengawas pemilu, sosialisasi aturan hukum serta membuka wawasan berpikir masyarakat tentang arti manusia yang tidak bisa disamakan dengan benda komersil.

 

Semoga saja Pemilu yang akan datang, bukanlah lagi tercipta Politik Massa namun sangat diharapkan terbentuknya Massa Politik, yaitu masyarakat yang sungguh sadar arti dan makna politik didalam berdemokrasi.

Baca juga berita lengkap lainnya di BREBES.INFO dan HARIANMERDEKA.ID