![]() |
Penulis :Adhi Puji Hermawan, SH. Ketua Forum Milenial Peduli Demokrasi (FMPD) Brebes |
BREBES.INFO-Tak dipungkiri salah satu cara cepat dan curang untuk memeperoleh suara pada pemilihan baik tingkatan daerah maupun pusat adalah dengan melakukan politik uang. Rakyat 'disuap' dengan amplop-amplop berisi sejumlah uang agar mau berpihak atau memilih salah satu kandidat. Hal tersebut dilakukan dengan berbagai alasan yang mendasarinya.
Kurangnya inovasi dalam menyampaikan gagasan yang dikelola oleh tim sukses, gagasan yang minim literasi yang membuat para caleg tidak begitu paham kebutuhan rakyat, kemasan program-program kampanye basi dan nihil kreatifitas, kepentingan mendesak untuk berkuasa yang didasari oleh suatu kepentingan bisnis tertentu sehingga menghalalkan segala cara guna merebut kursi jabatan politik.
Dari faktor-faktor diatas seharusnya jauh-jauh hari partai politik sungguh-sungguh menyiapkan kader-kader terbaiknya untuk berkompetisi memperjuangkan ide kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, dan bukan kader-kader 'indomie' yang secara instan disajikan untuk rakyat. Ongkos politik yang begitu sangat mahal sebetulnya bisa dipangkas jika memang partai politik yang ada secara serius 'nandur' dan dekat dengan masyarakat serta cerdas mengolah kebutuhan masyarakat sehingga dihari menjelang pemilihan, masyarakat pun sudah paham dengan para kader partai yang memang sudah sering terjun ke dalam kehidupan masyarakat, yang kemudian siap bertarung membawa semua konsep serta gagasan murni yang diambil dari masyarakat. Dengan begitu para calon wakil rakyat betul-betul sudah dikenal rakyat bukan hanya sekedar karena nama besar orang tua ataupun jumlah asset yang dimilikinya untuk modal kampanye tebar amplop, sembako dan senyum palsu.
Ide kemakmuran yang minim serta implementasi konsep-konsep kesejahteraan yang basi, membuat masyarakat semakin muak, juga menambah stereotip negatif pemilu semakin pilu. Dekadensi demokrasi yang nyata pascakolonial sampai dengan pasca reformasi tengah terjadi saat ini sebelumnya pernah dikhawatirkan oleh dua orang tokoh pergerakan, Soekarno dan Mohammad Hatta.
Dalam buku yang ditulis oleh Retor A.W Kaligis yang berjudul Marhaen dan Wong Cilik pada halaman 30-31, dikatakan bahwa:
“Dua tokoh pergerakan, Soekarno dan Mohammad Hatta, tidak menginginkan kehidupan berbangsa yang dikembagkan di Indonesia seperti pelaksanaan Revolusi Perancis yang menumbuhsuburkan borjuisme dab tidak memberikan kekuasaan bagi rakyat kecil, meski pada awalnya berjuang bersama-sama dengan kaum borjuis menumbangkan rezim feudal. Rakyat kecil hanya memperoleh kebebasan (liberte), sedangkan persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite) cuama menjadi slogan.
Soekarno menekankan agar nasib kaum marhaen Indonesia jangan seperti rakyat jelata Perancis di masa revolusi Perancis. Mereka memulai dan menggerakan revolusi, tetapi hasil revolusi hanya dinikmati kaum borjuis Perancis yang berhasil mengambilalih kekuasaan dan kepemimpinan revolusi. Rakyat jelata tidak memperoleh apa-apa dari revolusi yang mereka Gerakan sendiri. Ia khawatir jangan sampai sesudah Indonesia merdeka, Indonesia jatuh ke tangan kaum ningrat dan kapitalis.
Adapun Mohammad Hatta dalam Demokrasi Kita (1960). Ketika Revolusi Perancis berlangsung, hendak melaksanakan cita-cita sama rata sama rasa -sebab itu disebalah kemerdekaan individu dikemukakan persamaan dan persaudaraan. Tapi demokrasi yang dipraktikan hanya mebawa persamaan politik, hak seorang sama dengan yang lain, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan sama-sama mempunya hak untuk memilih dan dipilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Tetapi lebih dari itu tidak ada persamaan. Dalam perekonomian tetap berlaku dasar tidak sama. Malahan dengan berkobarnya semangat individualisme, yang dihidupkan oleh Revolusi Perancis, kapitalisme tumbuh dengan suburnya.” Dari pandangan dua tokoh besar diatas, patut direnungkan apa yang sedang berlangsung di negeri yang subur dan kaya raya ini.
Ketika pasca reformasi seharusnya proses demokrasi dapat berjalan dengan baik serta kepemiluan mestinya sudah mampu mensejahterakan rakyat karena proses pemilu yang baik akan hasilkan wakil rakyat dan pemimpin-pemimpin daerah yang berkualitas, namun hal tersebut masih jauh dari idealisme dan semangat reformasi. Wakil-wakil rakyat yang tidak mumpuni serta kualitas sumber daya manusia yang cenderung dipaksakan malah menghasilkan oligarki politik dan ekonomi. Mereka yang hendak berkuasa melalui proses kepemiluan menginginkan cara instan untuk memperoleh suara, yaitu dengan cara-cara curang. Mereka menebar amplop uang, bukan menabur ide dan gagasan ketengah masyarakat.
Cara-cara curang dalam memperoleh suara rakyat adalah indikasi bahwa sebetulnya mereka tidak ada dalam hati masyarakat serta lemahnya inovasi juga kreatifitas, rakyat hanya dijejali kepentingan pragmatis dan yang akan berdampak lima tahun kedepan selama kekuasaan berlangsung nanti. Bisa dikatakan pembodohan demokrasi dapat dilihat dari cara-cara kampanye para calon-calon wakil rakyat, meski tidak semuanya. Walaupun ada Sebagian calon-calon legislatif yang memang hanya mengandalkan warisan kekuasaan, serta modal harta minim gagasan.